Teori Mimesis dan teori Significant Form.

Nama : Putri Noviani

Kelas : DKV R3L

Npm : 202146500957

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI (UNINDRA)


Teori Mimesis dan teori Significant Form.

Manusia belajar awalnya dengan meniru. Pengetahuan dan keterampilan yang menghasilkan produk‐produk budaya, diwarisi dengan cara ditiru, dan dikembangkan. Proses belajar itu pertamatama berkaitan dengan technical skill .


Coca-Cola yang terbungkus plastik, lukisan hiper-realisme


Dalam perfilman, aktor yang dapat memerankan sepersis tokoh yang dimainkan, juga akan dinilai positif. Mimesis dalam pengertian yang berbeda dengan pemahaman sekarang, pernah dipandang negatif oleh Plato. Plato mengatakan, bahwa alam realita ini merupakan mimesis dari alam ideal. Tiruan dari alam ideal.


Alkisah ada beberapa orang tinggal di dalam goa bawah tanah. Di belakang mereka terdapat makhluk yang memegang berbagai benda. Bayangan tsb menjadi satu-satunya hal yang dapat dilihat penghuni goa. Mereka berada seperti itu sejak dilahirkan, maka sebagaimana manusia yang hidup di bumi sekarang ini, mereka mengira bayang-bayang itu adalah keberadaan yang sejati.


Artinya hanya mimesis belaka, sedangkan keindahan yang sejati ada di alam idea.


Ia menjadikan ranjang yang dibuat oleh seorang tukang kayu sebagai modelnya. Tetapi bagaimana si tukang kayu dapat membuat sebuah ranjang, adalah karena si tukang kayu membayangkan ranjang ideal yang terdapat di atas, di sana, di alamideal, lalu dengan bahan kayu dieksekusinya menjadi kursi yang terindera. Lalu pelukis menirunya lagi ke dalam lukisannya. Plato mengkategorikan apa yang pada zaman kita disebut fine art sebagai tiruan dari karya pengrajin.


Membuat metonimi merupakan tindakan framing dengan motif tertentu


«Dalam setiap karya seni, bagaimanapun juga, berkaitan dengan realita, dengan kenyataan, kadang-kadang untuk melakukannya kembali, untuk mengamininya, kadang-kadang untuk memberontak terhadapnya, untuk mengambil jarak terhadapnya, untuk memperindah atau mempertajam. » Gombrich berpendapat, walaupun tujuan dari seni adalah meniru, proses penggambaran selalu tergantung dari pemikiran sang seniman. Begitulah, semua seni, yang optikal sekalipun, pada dasarnya konseptual. ‘perspektif yang reliabel , yang dapat menghasilkan realita dan kesan 3D secara objektif dan utuh .


Maka, hasil tunggal dari imitasi tidak mungkin dicapai, karena yang disebut objek untuk ditiru itu meliputi rangkaian penampang objek dan rangkaian sudut pandang pemikiran, yang secara teori tidak terbatas. Realistik itu sesuatu yang relatif tergantung dari suatu representasi dari suatu budaya pelihat pada waktu tertentu. Ini merupakan salah satu contoh karya yang dapat dianggap sebagai menerapkan teori imitasi, dimana seniman dianggap menggambarkan badak secara realistik, sesuai dengan kenyataan yang dapat kita indera.


Terhadap realita yang sama, yakni sebuah meja dengan telor ceplok, gelas, dan sedotan minuman, terdapat sekurang‐kurangnya empat bentuk data visual. Kita dapat menjumpai gejala visual demikian ini pada produk masyarakat dengan tradisi seni rupa dekoratif, seperti seni rupa Mesir, Cina, dan Nusantara.


Karya serupa ini dapat kita jumpai pada gambar kerja untuk dieksekusi oleh tukang kayu


D.Digunakan perspektif untuk menghasilkan tampilan yang berkesan optis.


Naturalisme dan Realisme


Corak karya yang dihasilkan, kadang disebut naturalisme, kadang realisme. Dalam sejarah seni rupa, pengertian naturalisme dan realisme dibedakan. Courbet digolongkan realisme karena mengungkapkan kehidupan sosial tertentu, khususnya hal‐hal yang bersifat pathos atau menyedihkan.


Emosi estetis dibangkitkan di dalam subjek oleh ciri‐ciri khas yang ada di dalam objek . Kekhasan yang ada dalam objek, yang membangkitkan emosi estetis pada subjek, disebut bentuk signifikan . Hubungan timbal‐balik antara emosi estetis dengan bentuk signifikan itulah yang oleh Bell dianggap sebagai esensi karya seni.


Teori Clive Bell ‘serumpun’


Teori Bell juga mirip dengan teori disinterestedness dalam seni, seperti diungkapkan oleh Kant, yang kelak akan kita bahas tersendiri.


Dlm beberapa penjelasan orang atas teori Clive Bell, significant form diterjemahkan menjadi ‘bentuk bermakna’.


Emosi estetis tergugah oleh pengenalan adanya hubungan antara komponen‐


Komponen dari karya seni. Komponen tersebut, menunjuk pada unsur‐unsur rupa dan hubungan di antara mereka di dalam karya seni. Hubungan‐hubungan itulah yang ia tekankan signifikan bagi wujud dan ekspresi keseluruhan dan akan menentukan kualitas karya.


Bell menekankan arti pentingnya unsur‐


Unsur formal karya seni. Pengertian unsur formal di sini bisa dipadankan dengan unsur dasar.

Teori Bell juga mendorong kelahiran mazhab baru dalam analisis seni rupa, ialah formalisme. Formal berarti ‘aspek bentuk’. Dalam berkarya seni rupa, unsur unsur tersebut diorganisir menjadi struktur atau susunan tertentu. Jika kita ingin mengapresiasi karya seni, maka kita tidak perlu membekali diri dengan apapun yang berasal dari kehidupan kita, atau gagasan atau perkara apapun yang menyangkut hidup tersebut, serta perasaan apapun yang pernah menghinggapi kita dalam hidup ini.


Karya‐karya seni yang berkualitas adalah yang bentuknya mengandung bentuk signifikan itu, yang terdiri dari garis dan warna


Setiap karya seni yang berhasil akan mampu membangkitkan emosi estetis tertentu yang berbeda satu sama lain. Karakteristik emosi estetis yang ditimbulkannya adalah hasil dari penangkapan berbagai hubungan antara unsur bentuk, warna, dan garis, yang membangun struktur tertentu dan bentuk tertentu. Kritikus yg baik adalah kritikus yg mampu membikin sebuah karya seni yg ‘bisu’ dapat membangkitkan emosi estetis pembacanya.


Ini dibedakan dengan seniman yang membuat objek estetis, saat itu seniman akan mengalami pengalaman artistik artistic


Istilah «pengalaman» pd pengalaman estetis maupun pengalaman artistik mengindikasikan, bahwa pembahasan ini berada dlm ranah psikologi. Experia menjadi sumber kata empiric yang berarti pemahaman melalui observasi, keterlibatan langsung atau penginderaan objek.


Dan sebagai proses, kata itu bermakna mekanisme kemunculan emosi pada subjek estetis. Terkait dengan ilmu, Munro menyatakan, bahwa pembahasan pengalaman estetis sebenarnya tidak sekadar membicarakan masalah emosi, tetapi juga proses pemahaman. Nah, Clive Bell menyebut pengalaman estesis sebagai emosi estetis.


Emosi estetis empatis adalah emosi yang bersifat seakan‐akan. Emosi estetis empatis yang berupa kemarahan, ketakutan, ketegangan, atau kesepian, bukan kemarahan, ketakutan, ketegangan, atau kesepian yang sesungguhnya. Emosi estetis empatis, contohnya, terjadi pd seorang penonton yg merasakan senang maupun sedih saat menonton film. Ketika tokoh antagonis menindas protagonis, penonton merasa marah atau sedih, sebaliknya, saat tokoh protagonis meraih sukses ia merasa bahagia atau terharu.


Kemarahan dlm pengalaman estetis, sebagaimana pengalaman spektator saat menonton tokoh antagonis tadi, bukanlah kemarahan yang sesungguhnya, tetapi kemarahan empatis. Indikasi bahwa kemarahan dlm pengalaman estetis bukan kemarahan yg sesungguhnya adalah ia bersedia, bahkan menginginkan untuk merasakan kemarahan itu lagi. Selain itu, emosi dlm pengalaman estetis cenderung dapat dikontrol atau disadari jika dibandingkan dgn emosi pd kehidupan nyata. Dgn kata lain, jarak psikis antara dirinya dgn objek estetis dapat diatur.


Jika emosi marah pd pengalaman estetis berbeda dgn kemarahan sesungguhnya, semestinya emosi senang pd pengalaman estetis juga berbeda dgn emosi senang yg sesungguhnya.


Kata keindahan, sejatinya hanya disematkan untuk emosi estetis formalistis ini. Sementara itu, emosi estetis empatis, dalam kehidupan sehari‐hari tidak disebut sebagai keindahan. Emosi estetis formalistis ditimbulkan oleh bentuk objek estetis. Karya seni sebagai salah satu jenis objek estetis memiliki bentuk dan isi.


Bentuk seni merupakan hal yang ditampilkan atau aspek terindera dari karya seni. Sekalipun bercerita ttg waktu, namun tema itu tidak terlalu urgent,bahkan dapat dihilangkan sama sekali, karena yang lebih penting adalah komposisi unsur visualnya. Emosi seperti itu tidak hanya ditawarkan oleh karya seni rupa. Karya sastra, yang tidak dapat menghindari kata-kata, yang dengan demikian nyaris mustahil memisahkan content dari form, pun dapat menghadirkan emosi estetis formalistis.


Emosi estetis tergugah oleh pengenalan adanya hubungan timbal balik antara bagian-bagian dari suatu karya seni dalam hal-hal seperti ukuran, proporsi, warna, gerak, kekuatan, nada, dan lain sebagainya.



Comments

Popular posts from this blog

PENGALAMAN ESTETIS - JALAN JALAN KE PAMERAN SENI

Kejujuran NFT

Seni dan Representasi